Logika Kaum Terdidik
- Salsabila Homeschool

- Sep 21, 2015
- 3 min read
Updated: Jun 14, 2020
Salah satu tragedi di zaman ini adalah hilangnya kemampuan untuk menggunakan logika secara baik. Hal ini meliputi hampir semua orang, termasuk mereka yang mengayom pendidikan hingga ke tingkat yang tinggi. Para doktor, bahkan professor, tidak bebas dari kondisi memprihatinkan ini. Padahal kaum terdidik ini memegang peranan penting di dalam proses penentuan kebijakan pada sektor-sektor strategis. Sektor-sektor yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak.
Beberapa saat yang lalu, saya berkesempatan untuk hadir di dalam sebuah seminar yang bertujuan untuk mencari sinergi di antara kebijakan pemerintah, konservasi alam dan pemanfaatan ilmu pengetahuan. Pada seminar tersebut berkumpul para pejabat, praktisi / pemerhati lingkungan hidup dan ilmuwan, mulai dari professor hingga ke guru besar perguruan tinggi. Banyak hal-hal bermanfaat yang saya dapatkan dari seminar tersebut. Namun untuk tulisan ini, saya ingin menggarisbawahi hal-hal yang bagi saya merupakan contoh dari penggunaan logika yang kurang tepat.
Perihal konservasi alam dan lingkungan hidup
Tidak logis rasanya mengadakan acara yang berhubungan dengan konservasi alam namun disertai dengan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan jiwa konservasi. Namun, demikianlah yang sering terjadi. Acara-acara bertemakan konservasi dilakukan di tempat-tempat yang menafikkan penggunaan energi secara efisien. Kegiatan konservasi, yang salah satu tujuannya adalah untuk meminimalisir jejak karbon, tidak sepatutnya mendukung tempat-tempat yang justru tidak mengindahkannya. Contoh tempat semacam ini adalah hotel-hotel besar yang mengkonsumsi energi secara tidak efisien selama 24 jam untuk elevator, penerangan, pendingin ruangan, dan lain-lain.
Satu hal lain yang menjadi sumber keprihatinan adalah banyaknya makanan yang terbuang pada saat makan siang atau makan malam dalam rangkaian acara. Banyak ditemukan piring-piring peserta seminar yang masih berisi sisa-sisa makanan. Padahal, salah satu topik yang baru saja dibahas adalah masalah sampah yang tidak kunjung ada solusinya. Bagaimana mungkin masalah dapat terselesaikan, sementara diri sendiri masih menjadi sumber masalah?
Pemisahan antara spiritualitas dan ilmu pengetahuan
Pada akhir sesi diskusi, seorang guru besar dari sebuah perguruan tinggi ternama diminta untuk menjawab pertanyaan dan memberi sambutan mengenai topik yang baru saja dibahas. Seperti telah diutarakan sebelumnya, topik yang dibahas adalah mengenai sampah dan peranan ilmu pengetahuan di dalam penanggulangannya.
Setelah menjawab pertanyaan, beliau menyampaikan sambutan terakhir berupa seruan untuk memisahkan mitos dari ilmu pengetahuan demi kemajuan masyarakat. Yang beliau maksud adalah meniadakan kepercayaan-kepercayaan tradisional yang dianut oleh masyarakat mengenai fenomena-fenomena yang terjadi di alam, dan merasionalkan fenomena-fenomena tersebut dengan ilmu pengetahuan.
Ada sebuah arogansi dari kalangan terpelajar, terutama para ilmuwan, bahwa apa-apa yang bersifat tradisional identik dengan keterbelakangan dan harus ditiadakan. Bahwa kemajuan umat manusia terjadi melalui rasionalisasi dan romansa dengan ilmu pengetahuan. Padahal ada sebagian mitos-mitos, kepercayaan, serta keterkaitan spiritual kaum tradisional dengan alam yang memiliki peranan penting di dalam pelestariannya. Lebih dari itu, kepercayaan-kepercayaan ini terbentuk melalui proses pengamatan dan pengalaman yang terakumulasi selama beberapa kurun, identik dengan metodologi ilmiah. Seharusnya ilmu pengetahuan dan kepercayaan-kepercayaan tradisional tertentu dapat diselaraskan dan dicari titik temunya, bahkan saling menguatkan.
Ilmu pengetahuan modern bukanlah solusi yang sempurna bagi peradaban manusia. Tragedi bom atom di Hiroshima dan Nagasaki adalah buah dari ilmu pengetahuan modern yang tidak disertai hati nurani. Percepatan degradasi lingkungan yang terjadi saat ini pun dapat kita tuduhkan kepada penggunaan teknologi dan ilmu pengetahuan yang tidak bertanggungjawab. Sangat disayangkan ketika seorang dengan kaliber guru besar gagal melihat secara holistis dan menyatakan bahwa perlu ada usaha untuk meniadakan / melupakan kepercayaan-kepercayaan tradisional karena ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki derajat keutamaan yang lebih tinggi.
Tingginya Pendidikan tidak Menjamin Logika yang Baik
Di dalam sebuah film klasik yang cukup terkenal berjudul “the Wizard of Oz”, seorang boneka jerami yang merasa bodoh mencari otak agar menjadi pandai. Di akhir film, ia tidak menemukan otak yang ia cari. Sebagai gantinya, ia diberikan secarik diploma oleh seorang penyihir. Sang penyihir mengatakan bahwa di tempat dia berasal, Kansas, secarik diploma diberikan kepada mereka yang telah melalui pendidikan agar yang bersangkutan tersertifikasi dan percaya diri akan kemampuan inteleknya.
Cerita di dalam film tersebut merupakan analogi akan kondisi nyata di dalam masyarakat kita. Seringkali tidak terjadi perubahan yang signifikan di dalam cara berpikir seseorang saat memulai pendidikan tinggi dengan saat ia mendapatkan sertifikat kelulusan. Namun, banyak yang merasa bahwa secarik kertas tersebut telah membuatnya lebih pandai dan mulia dibandingkan orang lain. Cara berpikir seperti ini telah mengakar di dalam masyarakat. Bahkan tidak sedikit yang curang di dalam proses mendapatkannya atau memalsukan ijazah kelulusan demi pangkat atau kehormatan.
Sistem pendidikan di Indonesia yang menitikberatkan kepada hapalan dan nilai belum tentu menghasilkan lulusan-lulusan yang memiliki logika yang baik. Akibatnya, kita temukan lulusan-lulusan yang tidak memiliki kemampuan berpikir secara mandiri dan hanya mampu mengikuti pendapat orang lain. Lain halnya dengan mereka yang dididik dengan metode pendidikan klasik. Mereka dituntut mampu menggunakan logika secara baik, sehingga mereka dapat berpikir secara mandiri dan orisinil.
Perlu adanya peninjauan ulang dan pembaharuan sistem pendidikan di Indonesia. Pembinaan logika dan spiritualitas para murid harus ditambah porsinya di dalam kurikulum. Diharapkan sistem pendidikan kita dapat mencetak manusia-manusia unggul yang memiliki logika dan intelek yang lebih baik, serta hati nurani yang lebih hidup.



Comments