top of page

Narasi Tertulis Minggu Pertama CM Bogor Bernarasi

Updated: Jul 16, 2020

25 Juni 2020


Ceritanya baru pertama kali nih ikutan meeting Narasi Charlotte Mason (CM) di group CM Bogor via zoom. Meeting ini di Host oleh mbak Tia dan panduan bernarasinya oleh mbak Laila. Pertama, dijelaskan narasi itu apa, yakni menceritakan kembali apa yang telah kita baca atau dengar dengan kata-kata yang sesuai dengan pemahaman dan pemikiran kita. Ada standar benar salah kah? Tidak, karena seseorang akan bernarasi sesuai dengan pokok tema atau subjek yang menjadi ketertarikan mereka. Disini kita dilatih untuk menyelami tulisan dan berusaha memahami apa yang ingin disampaikan penulis. Untuk belajar cara membaca mungkin bisa buka juga tulisan reading 101


Peserta meeting diberikan waktu untuk membaca satu paragraf yang telah ditentukan dalam jangka waktu tertentu. Kegiatan ini bisa sederhana dengan menerjemahkan seluruh isi paragraf dan menceritakan kembali dengan kata-kata kita sendiri. Kemudian host akan menunjuk salah satu peserta atau memberikan kesempatan bagi peserta yang bersedia untuk langsung bernarasi. Peraturan di group meeting ini satu, no curhat fokus narasi.

Narasi dimulai dengan membaca preface buku volume satu CM,


“The future of education looks rather bleak both at home [in England] and overseas. Experts say that, in order to make education more effective, we should focus on science. Foreign language and math need major reform. Nature and vocational skills should be used as ways of training the eye and hands. Literature and history should be used to teach students how to do their own writing. Experts say that education should be more technical, and should be a means of preparing students for the workplace. But there is no one unifying goal, no specific aim, no real philosophy of education. A river can't rise any higher than the source it comes from. In the same way, education can't rise any higher than the foundational thought behind it. This may be the reason why our educational system is such an utter failure.”


Narasi tertulis saya untuk paragraf diatas adalah sebagai berikut:

Pendidikan saat ini dalam situasi yang tidak jelas dan mengkhawatirkan baik di dalam negeri maupun luar. Semua terfokus bahwa pendidikan itu adalah ilmu pengetahuan, matematika di diubah cara penyampaiannya, mempelajari tata bahasa itu hanya untuk membaca dan menulis misal pada sejarah. Semua mata pelajaran ini dibuat teknis dan hanya untuk aplikasi yang sekiranya akan dipergunakan untuk dunia kerja. Tetapi sayangnya tidak ada satu kesatuan tujuan atau filosofi yang mendasari. Jadi bisa diibaratkan sungai yang mengalir dari hulu ke hilir, jika dengan pemahaman ini maka seseorang tidak akan pernah dapat meraih tujuan atau berenang ke hulu karena mereka sendiri tidak mengetahui bahwa hulu itu ada, filosofi belajarnya tidak tersampaikan dan diterima dengan baik.


Lanjut ke paragraf selanjutnya,


“Those of us who have spent years studying the vague, elusive vision of Education see that there is a law behind education, but that we haven't yet fully grasped that law. We sense the vague outlines of that law, but that's it. We know that it touches every part of a child's life at home and at school, and, like an illuminating light, that law has a way of showing what the value system is behind our educational systems and plans. Besides being like a light, that law is also like a yardstick, setting the standard by which our educational efforts must be measured. The law is not strict, it admits whatever things are true and good without limit, except where too much would be harmful. The law seems to lay a path out before us that goes on like a continuous and progressive road through life, with no set lines marking where childhood stops and adulthood begins except that the student begins to walk the path independently when his training makes him more mature. When we look into this law, we find that the Germans Kant, Herbart, Lotze and Froebel were right when they said that knowing God is the most important thing a child should learn. There is something else we'll recognize when we finally see this law of educational freedom clearly for what it is--it is so true and wise that it will pass every test we can think of to give it in every area of life.”


Narasi tertulis saya untuk paragraf diatas adalah sebagai berikut:

Para pendidik yang mempelajari proses pendidikan merasa bahwa ada sesuatu regulasi atau hukum yang melatarbelakangi semua hal tersebut. Yang menjadi dasar pendidikan yang seharusnya itu bertumpu kepada sesuatu, yang melingkupi segala aspek pada pendidikan anak, ibarat cahaya yang menjadi panduan untuk menentukan standar pendidikan yang seharusnya itu seperti apa. Regulasi ini juga tidak terbatas antara masa kanak-kanan dan dewasa tetapi pemahamannya bergantung kepada kedewasaan seseorang. Para scholar German, merumuskan bahwa regulasi ini adalah dengan mengenalkan anak kepada Tuhan (Allah SWT). Dengan kita mendasari hal ini, maka konsep pendidikan menjadi terbuka lebih luas dan lebih mudah untuk dipahami, karena segala sesuatunya bersumber kepada aturan Allah yang telah memberikan manusia sebagai makhluk sosial dan alam untuk ditadabburi.


Untuk selanjutnya langsung dibahas paragraf 3 dan 4 sekaligus.

“Since as yet we don't have a clear print-out of this law to read, we'll have to rely on Froebel or Herbart, or, if we subscribe to another theory of education, on Locke or Spencer. But we still aren't fully satisfied. We are discontented with our system of education. It could be that our discontent is from God, but it is there and any workable solution would be hailed as a great deliverance from our confusion. But before a great solution is found, we will probably encounter many attempts that focus on part of the problem and seem like an educational philosophy, having a central idea with programs putting that idea into effect.”

“Such an attempt would necessarily need to go along with the worldview of the age. It would also have to relate to every facet of life, not segmented off from real life, but as much a part of the cycle as birth, marriage and career. And it must result in the student being attached to the world at many different points of contact by having interests in many things. It's true that educationalists are determined to cement students' interests in their own pet areas, but there is no one line of thought to make it applicable to all of life.”


Berikut narasi tertulis saya untuk paragraf diatas:

Jika saat ini kita belum menemukan regulasi dan hukum yang hakiki tersebut, maka tidaklah salah jika kita mencoba berbagai metode untuk menuju hal tersebut, misal menggunakan metode-metode pemikir seperti Froebel dan lainnya. Jika muncul sebuah ketidakpuasan, bisa jadi itu datangnya dari Tuhan karena hati kita dikendalikan oleh Nya. Jangan putus asa, teruslah mencari. Dalam ikhtiarnya mungkin kita akan bersinggungan dengan filosofi pendidikan yang sesuai dengan tujuan keluarga kita.


Panduan atau regulasi yang akan diterapkan ini haruslah mencakup segala aspek kehidupan, tidak hanya pada segmen tertentu pada tahapan manusia, tetapi melingkupi dari mulai lahir, menikah dan berkarir. Ketika panduan ini ditemukan, maka akan terbuka luas pemikiran lainnya yang mendukung murid untuk mempelajari alam dan minatnya dengan tujuan yang hakiki. Para pendidik saat ini memang berusaha untuk memfasilitasi murid-muridnya untuk berkembang sesuai minatnya, tetapi tidak jarang dari mereka yang tidak menjelaskan minat dan ketertarikan tersebut dengan tujuan hakiki yang ingin dicapai.


Sekian narasi tertulis saya untuk pertemuan pertama diskusi CM Bogor bernarasi. Ini bukan merupakan narasi yang saya ungkapkan di diskusi live. Tetapi semoga pembaca dapat sedikit memahami tentang cara dan metode bernarasi.


Emiria Chrysanti


Comments


© 2020 Salsabila Homeschool created with Wix.com

bottom of page