Sekolah di Rumah
- Salsabila Homeschool

- Jun 13, 2020
- 4 min read
Updated: Jun 14, 2020
Menuntut ilmu merupakan kewajiban bagi setiap individu. Di dalam Agama Islam, menuntut ilmu merupakan salah satu ibadah yang paling agung. Dan hanya melalui ilmulah kita dapat membuka kunci kepada potensi-potensi intelektual dan spiritual yang kita miliki. Oleh karena itu, sudah sepatutnya kita memberi perhatian lebih kepada pendidikan, yang merupakan tumpuan di dalam usaha menuntut ilmu. Pembahasan mengenai pendidikan sangat luas dan tidak mungkin tercakup di dalam tulisan singkat ini. Oleh karena itu, izinkanlah saya membahas mengenai pentingnya keterlibatan orang tua dan wali di dalam penyelenggaraan pendidikan anak-anak, terkait dengan tujuan dan makna pendidikan yang hakiki.
Setiap keluarga memiliki tujuan, kebutuhan serta keyakinan yang berbeda-beda di dalam mendidik anak-anaknya. Selain melalui sekolah, salah satu jenis pendidikan yang mulai marak di Indonesia adalah pendidikan rumah (home education), yang mungkin dapat menjadi alternatif bagi keluarga-keluarga tertentu. Setelah melalui berbagai tahapan dan pertimbangan, akhirnya saya dan istri memutuskan untuk menggunakan metode pendidikan ini untuk anak-anak kami.
Tujuan-tujuan yang ingin kami capai melalui home education, selain tujuan utama untuk mencetak manusia-manusia yang paham akan tanggung jawabnya sebagai makhluk Tuhan, adalah untuk mempertahankan sifat-sifat positif yang memang sudah ada di dalam diri anak-anak, yang kemungkinan dapat hilang apabila tidak dibina dengan baik dan berhati-hati. Sifat-sifat tersebut di antaranya adalah rasa ingin tahu, spontanitas, inisiatif, keinginan dan kesukaan untuk belajar, dll. Sehingga, ketika beranjak dewasa, selain paham akan tanggung jawab hakiki mereka, anak-anak tetap menjadi manusia-manusia yang haus akan belajar dan berproses, terus menerus hingga ke liang lahat. Karena, bukankah hanya kematian yang memutus kewajiban seorang manusia untuk belajar?
Di masa sekarang, istilah pendidikan seringkali disubstitusi dengan sekolah atau persekolahan, yang sebenarnya merupakan sebuah miskonsepsi. Di dalam Bahasa Inggris, pendidikan dan persekolahan masing-masing diterjemahkan menjadi “education” dan “schooling”. Jika ditilik dari akar kata, keduanya memiliki arti yang sama sekali berbeda. “Education” (pendidikan) berasal dari kata latin “educare”, yang berarti menumbuhkembangkan atau membesarkan. “Educare” sendiri berasal dari kata “e” dan “ducare” yang berarti membimbing keluar. Untuk bahasa Indonesia, pendidikan berasal dari “pedagogi”, kata yang diserap dari bahasa Yunani, yang kurang lebih memiliki arti yang sama. Sedangkan sekolah berasal dari kata latin “schola” yang artinya rehat dari kerja, waktu luang untuk belajar, pembicaraan terpelajar/debat, kuliah, tempat bertemu guru dan murid, tempat instruksi, pengikut, dan sekte.
Dari perbedaan akar kata-kata tersebut, dapat disimpulkan bahwa pendidikan ditujukan untuk menumbuhkembangan potensi yang dimiliki oleh seorang manusia, melalui bimbingan yang tepat, sesuai dengan kekuatan, bakat dan kecenderungan yang telah ada di dalam diri seseorang. Tentu selaras dengan tujuan akhir yang ingin dicapai melalui pendidikan, yaitu mencetak manusia-manusia paripurna, paham akan tanggung jawabnya sebagai makhluk Tuhan. Proses pembinaan ini dapat terjadi melalui bermacam-macam bentuk, dengan rentang waktu yang beragam dan luwes, di mana seseorang memiliki kebebasan untuk bereksperimen mengenal potensi serta posisinya terhadap alam semesta.
Di sisi lain, persekolahan dapat diartikan sebagai proses untuk membangun cara pikir dan kemampuan spesifik yang terjadi dalam rentang waktu dan sebuah institusi yang terstruktur. Yang menjadi kendala, sekolah di era ini telah berevolusi menjadi institusi yang hanya bertujuan sebatas untuk membangun siswa menjadi manusia-manusia yang siap latih dan “digunakan” sebagai faktor produksi di dalam industri dan komponen-komponen di dalam sistem politik/pemerintahan. Ia menjelma menjadi sebuah institusi di mana kebosanan dan kejenuhan merajalela, dan kepatuhan kepada otoritas menjadi salah satu aspek yang paling penting (bahkan di dalam hal yang bertentangan dengan logika sekalipun).
Di Amerika Serikat, banyak siswa sekolah yang mengalami depresi dan kebosanan yang luar biasa akibat beban pelajaran yang diberikan. Pemaksaan ini ditujukan demi peningkatan kualitas pendidikan dan kualitas lulusannya. Namun alih-alih peningkatan kualitas, efek negatif yang kasat mata jauh lebih dominan. Efek-efek negatif ini terus melekat kepada diri sang siswa hingga dewasa. Bahkan, banyak yang memberikan argumen bahwa efek-efek negatif ini sengaja ditanamkan kepada para siswa, demi kelancaran di dalam menjalankan roda-roda politik dan ekonomi. Namun, bahasan ini akan kita simpan untuk lain waktu. Gambaran mengenai kondisi di dalam sistem pendidikan AS ini dapat dilihat di sebuah film dokumenter dengan judul “Race to nowhere” (lomba kepada ketiadaan).
Yang perlu kita tanyakan adalah, apakah sekolah-sekolah, yang menjadi tempat anak-anak kita belajar, mengajarkan apa yang mereka butuhkan untuk menjadi manusia yang baik dan paripurna (paham hak dan kewajibannya)? Apakah betul sekolah-sekolah tersebut dapat membangun diri anak-anak kita dan menumbuhkembangkan potensi-potensi mereka? Lalu bagaimana dengan para pendidik yang kita beri kepercayaan untuk menyusun program dan mendidik anak-anak kita? Apakah kita yakin bahwa mereka orang-orang yang memiliki tujuan yang sama dengan diri kita di dalam proses pendidikan? Bagaimana dengan teman-teman sepergaulan anak-anak kita? Berasal dari keluarga seperti apa, serta apa efek mereka bergaul dengan anak-anak kita? Sudah yakinkah kita ketika mengirim anak-anak kita ke sekolah? Atau jangan-jangan kita malas, tidak pernah berpikir panjang dan hanya mengikuti rutinitas? Seringkali kita menepis semua pertanyaan tersebut dengan istilah tawakkal (percaya/berserah kepada Tuhan). Padahal, tawakkal yang sebenarnya harus disertai dengan usaha yang maksimal. Apalagi, ini melibatkan anak-anak kita. Titipan-titipan Allah subhanahu wa ta’ala yang dipercayakan kepada kita. Salah satu hal yang akan sangat berat pertanggungjawabannya kelak.
Tulisan ini merupakan bagian dari buku “Menuju Berkah” yang dapat dibeli di Toko Salsabila Homeschool.*



Comments